search

Senandung El Maut Kawanan Kelelawar Malam

Here comes Indonesia's scariest band: Kelelawar Malam. Featuring Sayiba Von Terkutuk (vocals, guitar), Deta Beringas (bass, vocals), Fahri Al-Maut (guitar, backing vocals), and Apin Kiamat (drums), was released their debut album, Kelelawar Malam. The album consists of 12 songs with the central theme of horror stories and urban legends, and dabbles around punk rock, heavy metal, stoner rock, ballads, and delta blues. The band was founded in 2008 due to Sayiba and Deta's dual obsession with the American horror-punk band the Misfits, and their love of Indonesian horror b-movies. Sayiba then wrote the lyrics and Deta did the artwork. Stay connected with the living dead here: www.myspace.com/kelelawarmalam.com
Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print

Koes Hendratmo sedang membonceng Glenn Danzig yang mengenakan jubah bersablonkan “Dead Elvis” merangsek membelah malam nan mencekam. Nun di kejauhan, samar-samar tampak jip hitam melaju kencang mengejar, disupiri Farouk Afero—dengan belati terhunus—didampingi Suzanna, tergeletak tiada daya, gaun putihnya cemar bersimbah darah

Kalimat barusan merupakan analogi paling mudah dicerna dalam menggambarkan album perdana Kelelawar Malam, Kelelawar Malam, yang baru saja terbit Oktober lalu. Berisikan 12 lagu seram-mencekam, gubahan ini divisualisasikan bak buku cerita bertaburan syair gelap/ngeri/terkutuk karya Sayiba Von Mencekam (biduan, gitar) yang terinspirasi film-film horor Indonesia kelas B, dipadukan dengan artwork mistis-suram hasil kerja Deta Beringas (bas, vokal), serta didukung Fahri Al-Maut (gitar, vokal latar), dan Apin Kiamat (drum).

Lagu-lagunya sendiri deskriptif lagi kronologis berkisah mengenai fakta brutal berdarah, pula rupa-rupa mitos dan legenda yang terlanjur merasuk di lorong-lorong kelam benak masyarakat. Sebut misalnya “Malam Terkutuk” yang menyoroti ritual pembakaran penyihir, “Malam Mencekam” (pembunuhan berantai), “Palu Keadilan” (kebangkitan manusia di Padang Mashar), “Malam Jumat Kliwon” (kuntilanak), “Bangkit Dari Kubur” (pocong), “Ratu Kegelapan” (ratu penguasa lautan).

Sementara jenis musik yang diusung lumayan variatif—dengan rock sebagai perekatnya—berkisar di sekitar punk rock, heavy metal, stoner rock, balada serta delta blues, alias tak jauh-jauh dari selera masing-masing personelnya.

Kelelawar Malam sendiri bangkit dari kubur pada 2008 akibat obsesi berlebih Sayiba dan Deta terhadap grup horror-punk asal Amerika Serikat, Misfits, serta film-film Suzanna. Duo ini lalu membentuk tribute band Misfits. Namun, di perjalanan, faktor penguasaan alat yang duhai terbatas, ditambah dengan kemalasan menghapal lirik serta ogah-ogahan mengulik chord gitar Misfits, efektif memaksa mereka untuk mulai mengarang tembang sendiri yang akhirnya malah memunculkan karakter unik, ultra berbeda dibanding dengan grup musik lainnya di Nusantara.

Jadi, terhitung sejak sekarang, silakan isi tiap malam Jumat Kliwon Anda dengan ritual mencekam: menyimak Kelelawar Malam sambil menaburi nisan www.myspace.com/kelelawarmalam dengan kembang tujuh rupa…

English version

Here comes Indonesia’s scariest band: Kelelawar Malam. Featuring Sayiba Von Terkutuk (vocals, guitar), Deta Beringas (bass, vocals), Fahri Al-Maut (guitar, backing vocals), and Apin Kiamat (drums), was released their debut album, Kelelawar Malam.

The album consists of 12 songs with the central theme of horror stories and urban legends, and dabbles around punk rock, heavy metal, stoner rock, ballads, and delta blues.

The band was founded in 2008 due to Sayiba and Deta’s dual obsession with the American horror-punk band the Misfits, and their love of Indonesian horror b-movies. Sayiba then wrote the lyrics and Deta did the artwork.

Stay connected with the living dead here: www.myspace.com/kelelawarmalam.com

_______________

*This article was originally published on The Beat mag (Jakarta) #27, November 2010

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Print
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.
Rudolf Dethu

Rudolf Dethu

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Related

Scroll to Top