search
Rudolf Dethu - photo by @viarms

About

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

Hartomundur
Asal tahu saja, setiap kali saya merasa bete, putus asa, gairah jeblok, hiburan saya salah satunya yang paling efektif agar saya girang lagi adalah menonton video pengunduran diri daripada Soeharto ini. Jika manusia bengis nan tak terbantahkan se-Maha Esa Soeharto saja bisa terjungkal, masa saya dengan persoalan seiprit saja tak bisa bangkit dan bangun? Yip yip.
Soekarno-GanyangMalaysia
Lagi, Indonesia kelojotan gara-gara urusan klaim budaya (baca: tari Pendet). Berlanjut, kegerahan Rakyat Nusantara terhadap Malaysia akibat isu serupa sebelumnya, serobot menyerobot kultur (Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange & batik). Spontan saja orang-orang di negeri ini berbondong-bondong menunjukkan rasa "nasionalisme"nya lewat, salah satunya, jejaring virtual. Facebook & Twitter langsung riuh berisikan sumpah serapah "Ganyang Malaysia", "Serbu Malingsia", "Boikot Produk Malay-shit", hingga "Pendet is ours! Noordin M Top is yours!"---tentu saja, yang paling seru dan "terorganisir" dalam urusan memaki negeri jiran adalah kontingen IndonesiaUnite...
Saya perhatikan belakangan ini berbondong-bondong orang di sekitar saya---kebanyakan anak muda---menggabungkan dirinya di Indonesia Unite, sebuah komunitas yang dibentuk untuk merespons peristiwa bom Ritz-Marriot 17 Juli 2009 sekaligus menyebarkan semangat anti terorisme. Saat tulisan ini dibuat, sudah lebih dari 170 ribu orang menjadi anggota Indonesia Unite di Facebook. Komplet dengan limpah ucapan-ucapan berbau nasionalisme di Wall-nya. Sungguh mencengangkan lagi membanggakan bagaimana sejawat se-Nusantara membusungkan dada menunjukkan kecintaannya pada negara bernama Indonesia, bahu membahu melawan penjahat HAM berkedok agama bersenjatakan bom, seraya penuh patriotisme berteriak: Kami Tidak Takut! Kami tidak takut. Huh? Ini masalahnya. Saya kurang paham apa sejawat, sobat, kerabat, saya itu benar-benar tidak takut dengan bom yang mematikan tersebut. Saya pribadi mah masih sedikit menggigil merinding dan agak trauma dengan peristiwa mengerikan itu (ketika Bom Bali I saya berada hanya lusinan meter dari lokasi ledakan bom dan menyaksikan sendiri semburan api nan masif & merasakan gelegarnya yang gigantik). Hanya saja mungkin karena ledakan bom di negara ini sudah jadi makanan sehari-hari, makanya saya, dan mungkin juga rekan-rekan di Indonesia Unite, merasa bahwa peristiwa bom adalah semacam "same shit different day" alias sudah terbiasa.
Rudolf Dethu - photo by @viarms

About

Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.

rudolfdethu

Scroll to Top