search

Strategi Band Lokal Go-National

Bagi sebuah band lokal, menjadi terkenal---diundang manggung ke berbagai kota, single andalan merajai berbagai chart radio terhormat, kerap tampil di televisi nasional, dsb---sering berhenti hanya sekadar jadi obsesi muluk, sebatas mimpi indah. Angan-angan sejuk tersebut belum apa-apa macet begitu saja bukannya tanpa sebab. Kompetisi yang ultra ketat, jarak yang jauh ke pusat industri hiburan (baca: Jakarta), infrastruktur yang terbatas lagi mahal, minimnya koneksi ke sosok-sosok kunci dunia hiburan (pihak label, penyelenggara konser, orang radio, pencari bakat di televisi); menjadi barisan kendala paling wahid dalam perjalanan meraih cita-cita. Dan akibat ketidaksigapan mengatasi kerikil-kerikil penghambat itu, jamak terjadi, artis-artis lokal nan berbakat kemudian meraih gelar juara hanya di daerahnya sendiri, mentok menjadi jago kandang saja, tingkat popularitas dalam skala duhai sempit. Hey, jangan keburu putus asa, jangan instan menyerah. Di segmen berikutnya akan kita kupas beberapa kiat menyiasati ragam masalah di atas.
Hartomundur
Asal tahu saja, setiap kali saya merasa bete, putus asa, gairah jeblok, hiburan saya salah satunya yang paling efektif agar saya girang lagi adalah menonton video pengunduran diri daripada Soeharto ini. Jika manusia bengis nan tak terbantahkan se-Maha Esa Soeharto saja bisa terjungkal, masa saya dengan persoalan seiprit saja tak bisa bangkit dan bangun? Yip yip.
Soekarno-GanyangMalaysia
Lagi, Indonesia kelojotan gara-gara urusan klaim budaya (baca: tari Pendet). Berlanjut, kegerahan Rakyat Nusantara terhadap Malaysia akibat isu serupa sebelumnya, serobot menyerobot kultur (Reog Ponorogo, lagu Rasa Sayange & batik). Spontan saja orang-orang di negeri ini berbondong-bondong menunjukkan rasa "nasionalisme"nya lewat, salah satunya, jejaring virtual. Facebook & Twitter langsung riuh berisikan sumpah serapah "Ganyang Malaysia", "Serbu Malingsia", "Boikot Produk Malay-shit", hingga "Pendet is ours! Noordin M Top is yours!"---tentu saja, yang paling seru dan "terorganisir" dalam urusan memaki negeri jiran adalah kontingen IndonesiaUnite...
Saya perhatikan belakangan ini berbondong-bondong orang di sekitar saya---kebanyakan anak muda---menggabungkan dirinya di Indonesia Unite, sebuah komunitas yang dibentuk untuk merespons peristiwa bom Ritz-Marriot 17 Juli 2009 sekaligus menyebarkan semangat anti terorisme. Saat tulisan ini dibuat, sudah lebih dari 170 ribu orang menjadi anggota Indonesia Unite di Facebook. Komplet dengan limpah ucapan-ucapan berbau nasionalisme di Wall-nya. Sungguh mencengangkan lagi membanggakan bagaimana sejawat se-Nusantara membusungkan dada menunjukkan kecintaannya pada negara bernama Indonesia, bahu membahu melawan penjahat HAM berkedok agama bersenjatakan bom, seraya penuh patriotisme berteriak: Kami Tidak Takut! Kami tidak takut. Huh? Ini masalahnya. Saya kurang paham apa sejawat, sobat, kerabat, saya itu benar-benar tidak takut dengan bom yang mematikan tersebut. Saya pribadi mah masih sedikit menggigil merinding dan agak trauma dengan peristiwa mengerikan itu (ketika Bom Bali I saya berada hanya lusinan meter dari lokasi ledakan bom dan menyaksikan sendiri semburan api nan masif & merasakan gelegarnya yang gigantik). Hanya saja mungkin karena ledakan bom di negara ini sudah jadi makanan sehari-hari, makanya saya, dan mungkin juga rekan-rekan di Indonesia Unite, merasa bahwa peristiwa bom adalah semacam "same shit different day" alias sudah terbiasa.

rudolfdethu

[instagram-feed feed=1]
Scroll to Top