ICEMA? Indonesia Cutting Edge Music Award, begitu kepanjangannya. Menyimak namanya sepertinya pihak penyelenggara---dengan didukung oleh Windows Live---memang menyasar segmen berbeda dibanding festival musik pada umumnya di Nusantara. Target yang dituju sepertinya sengaja ke koridor yang bukan arus utama, tak tergolong konsumsi untuk umum, non-mainstream. Memang, ajang yang agak mirip dengan ICEMA sejatinya ada yaitu LA Lights Indie Fest. Bedanya, jika LA Lights Indie Fest cenderung menyeleksi grup-grup musik relatif pemula, sebaliknya filterisasi ICEMA lebih kepada jajaran musisi yang telah moncer reputasinya di ranah alternatif. Sebut saja misalnya Ras Muhamad, Goodnight Electric, Navicula, Adrian Adioetomo, Efek Rumah Kaca, dan masih banyak lagi.
3 tahun setelah meluncurkan tembang eklektik nan fenomenal bertajuk Kroncong Protol dari album Unity yang notabene sanggup merekonstruksi perspektif anak muda terhadap musik Keroncong, lalu mengorganisir sendiri pertunjukan penghormatan untuk sang maestro Keroncong yang baru saja wafat, “Tribute to Gesang”, pada 16 Juni silam di Bentara Budaya, Jakarta; kini Bondan Prakoso menggebrak lagi dengan album paling mutakhirnya: For All.
Telah lahir grup musik berlimpah bintang yang menyebut diri Konspirasi, dengan menetapkan Grunge sebagai fondasi genre. Digagas pertama kali oleh Edwin Syarif alias Edwin Cokelat (gitar) serta Kirana Hamonangan a.k.a. Marcell Siahaan (drum). Berikutnya masuk Denny Hidayat ditugasi menjaga ritme di departemen bas. Dan, seolah terpanggil memenuhi standar “ramah Seattle Sound”, Candra Johan---lebih dikenal sebagai Che Cupumanik---lalu dipasang sebagai biduan. Entah memang takdir kelompok all stars memang sedemikian rupa, walau relatif miskin gembar-gembor, eksistensi kelompok bentukan Oktober 2008 ini relatif mudah menggaet atensi publik. Namanya jadi salah satu pembicaraan paling hangat di skena musik Indonesia. Kabar paling anyar, mereka sedang berkutat menggarap album perdana. Selain itu, Romy Sophiaan mengambil alih posisi Denny. Silakan simak wawancara berikut ini.
Jazz kerap divonis oleh sebagian kalangan sebagai musik sulit, susah dicerna, kurang membumi, dan beragam stigma sejenis. Di Indonesia sendiri perkembangan Jazz di masa-masa awal menemui kendala gigantik. Selain masyarakat umumnya belum siap dengan “kerumitan” musikal khas Jazz serta masih lebih memilih menyimak yang gampang dikonsumsi kuping, isu sumber daya manusia juga menjadi masalah signifikan: Nusantara kekurangan musisi handal lagi mampu meramu musik bikinan kaum kulit hitam ini. Namun, berkat usaha pantang menyerah dari segelintir penggiat Jazz lokal, eksistensi musik ini menunjukkan performa cukup baik, baik kualitas maupun kuantitas---pelan tapi pasti, lambat namun selamat---grafiknya terus menaik.
Paranoia itu sirna akhirnya. Brian Molko, Stefan Olsdal, Steve Forrest, memang nyata---dan penuh gaya---berada di depan mata. Obsesi sejak masa baheula tercapai jua. Dengan dibalut kecanggungan antara fakta dan fantasi, saya berdiri di tengah-tengah di antara empat ribuan penonton yang memadati konser Placebo di Tennis Indoor Senayan, 19 Februari malam silam. Memang, sebelumnya saya sempat ketar-ketir jangan-jangan, seperti beberapa grup manca negara lainnya, bak yang sudah-sudah, band asal London ini tiba-tiba di detik-detik terakhir membatalkan kedatangannya. Untungnya tidak. Kelompok yang baru saja tahun lalu menerbitkan album ke enamnya, Battle for the Sun, rupanya minus rasa takut berlebihan terhadap faktor keamanan di negara ini. Brian Molko beserta rombongan tetap datang dan menghibur publik Nusantara.
/rif (Rhythm in Freedom) adalah salah satu grup musik cadas lokal yang masih kekal bertahan hingga hari ini. Koalisi musisi asal Bandung ini telah 18 tahun mengarungi derasnya arus blantika berkesenian Indonesia. Mengejutkan publik muda dan tua pertama kali lewat album debut via Sony Music Indonesia, Radja, dengan single bertitel sama pada 1997, hingga karya yang ke-6, Pil Malu, pada 2006. Belakangan, di tahun 2010 ini, santer tersiar kabar Andy (vokal), Jikun (gitar), Ovy (bas), serta Maggi (drum), sedang masif menghabiskan waktunya di studio dalam rangka menyelesaikan album terbarunya. Mari kita cari tahu kebenarannya.
Adalah kisah jamak ketika sebuah grup musik---dalam konteks ini musik cadas---yang dulu pernah besar, sempat mencicipi segepok fame & fortune, kangen untuk kembali tampil di depan publik seraya berharap semoga ketenaran dan kesejahteraan bermurah hati menghampiri kembali. Namun dalam prakteknya, sebagian penggemar di masa lalu sudah beranjak uzur serta lebih memilih menjalani hidup "normal", menjauh dari segala gemah ripah Rock-n-Roll. Sementara generasi yang lebih muda justru gersang rasa kedekatan dengan band baheula tersebut. Adalah kisah jamak pula ketika pada akhirnya mimpi menggapai bintang untuk kali kedua berakhir menjadi sekadar ilusi.
Total bicara soal cinta, demikian ungkap Naif mengenai albumnya yang akan datang. Planet Cinta, seolah berusaha menegaskan, disepakati dipakai sebagai judul. Besutan ke-9 yang rencananya dirilis Februari lalu, rupanya sedikit mengalami perubahan jadwal. Hingga berita ini diturunkan, kabarnya David, Jarwo, Emil & Pepeng, masih berkutat di proses mixing. Disebutkan pula bahwa jika semua berjalan lancar akan ada 10 lagu menghiasinya. Dan yang agak berbeda dari yang sudah-sudah, seperti disebutkan di atas, temanya melulu soal asmara. Sementara ramuan retro 80an khas Naif tetap jadi resep unggulan.
Kecintaan besar pada grup musik macam Weezer, Nirvana, serta kontingen Alternative Rock 90anlah yang menyatukan mereka bertiga lalu bersepakat membentuk Lucca. Bosan membawakan tembang-tembang milik artis lain, pada Januari 2004, trio asal Jakarta ini memproklamirkan nama baru: Monkey to Millionaire. Perubahan identitas ini sekaligus juga sebagai tonggak peringatan bahwa Wisnu Brahmana (gitar, vokal), Agan Sudrajat (bas, vokal latar), Emir Karshadi (drum), lebih memilih mengusung lagu-lagu sendiri.
Dari sedemikian padat populasi penggiat Indie, yang berhak mendapat atensi gigantik, menurut saya, cuma sejumput. Satu di antara yang sedikit itu adalah Sajama Cut. Selain menonjolkan karakter lirik non-konvensional dan bernuansa abstrak---via Bahasa Inggris yang sempurna---pula menggunakan pendekatan musikal berbeda: Indie Rock nan dinamis, terus berevolusi, tanpa limitasi, kerap memasukkan unsur-unsur musik baru, suatu masa bernafas Country & Folk, suatu saat bernuansa Chamber Pop, suatu ketika ada warna Electronica.
Kuartet asal Jakarta ini secara eksistensi tergolong duhai belia, baru resmi berdiri pada 17 Juli 2009. Belum genap setahun. Namun jika menganalisa oknum-oknum yang berada di gerbongnya, murtad rasanya menyebut orang-orangnya sebagai koalisi “kemarin sore.” Coba kita mulai dari sang biduan, Jimi Multazham, misalnya. Di alter egonya yang lain, lebih dikenal sebagai Jimi Upstairs. Benar, dialah frontman dari grup New Wave paling mahsyur setanah air: The Upstairs. Lalu penanggungjawab gitar, Pandu Fathoni, adalah juga anggota kongsi Post-Punk muram, The Porno. Kemudian divisi bas dikomandoi oleh Bramasta Juan Sasongko, yang sekaligus merupakan konseptor JARB, sebuah band beragamakan Stoner Rock. Sementara di departemen drum bercokol Freddie Alexander Warnerin yang berkedudukan pararel sebagai personel kongegrasi Hardcore bernama Nervous Breakdown.
She's not just a singer. She's an excellent singerâ€"a diva, to be precise. With that kind of quality, it should've been pretty easy for her to get signed by any huge record label (meaning: better exposure, better promotions, betterâ€"and biggerâ€"financial backup), but she prefers to go the Do-It-Yourself way a.k.a. minimum wage, maximum work, more headache, less sleep. Is she happy with what she's doing?
Sejarah terbentuknya kongegrasi ini dimulai pada 2005 ketika dua anak muda berselera musik seragam, Dawny & Arnold, bersepakat bersekutu di bawah nama The Authentics. Pemilihan titel band sedemikian rupa semata karena mereka menginginkan bunyi-bunyian yang otentik, merepresentasikan keaslian, sebagaimana para pengusung Ska di masa-masa awal. Sudah begitu, di era permulaan The Authentics kerap meng-cover lagu-lagu milik The Slackers, Hepcat, The Skatalites, dan serbaneka Ska tradisional. Namun dalam rentang evolusinya mereka kemudian mulai melebarkan jelajah musikalnya dengan menciptakan senandung yang lebih sederhana, mudah dicerna, kental nuansa bersenang-senang juga ramah-dansa alias danceable; tanpa sama sekali tercerabut dari akar Ska-Swing-Soul-Blues.
She's a teacher, a model and a (great) singer. She's Australian who's been living in Jakarta for quite a while now---and loves it so much. Let's hope she will stay longer---I bet some of the boys would prefer forever---in Indonesia.
Grunge sudah mati? Seattle Sound telah tamat? Mungkin iya. Bisa jadi benar. Sebab di manca negara gelinjang musik yang berporos di Pacific Northwest, Amerika Serikat,---utamanya Seattle---ini terkesan melempem, layu gairah, sempoyongan lalu pingsan. Kalau pun para pembesarnya masih bergentayangan di blantika cadas raya, gaungnya tak cukup signifikan, tipis nuansa kolektif, cenderung melenggang sendirian. Boleh dibilang dari kalangan pesohor berbusana flanel cuma tinggal Pearl Jam, Stone Temple Pilots, Mudhoney, dan Alice in Chains (formasi anyar) yang masih eksis. Sayangnya, umur panjang itu tak disangkutpautkan dengan pergerakan atau rejuvenasi Grunge. Sepak terjang Eddie Vedder dan Rekan dianggap nihil relevansi dengan so-called Seattle Sound

rudolfdethu

[instagram-feed feed=1]
Scroll to Top