Edition: August 17, 2011Indonesia MahardikaEdisi kali ini adalah sesi khusus memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-66. Saya tidak meminta Anda menjadi *uhuk* nasionalis. Saya tidak merajuk agar para sejawat memakai kacamata kuda lalu membabibuta mencintai Nusantara brengsek ini. Atau meleleh berpanas-panas menghormati bendera Merah Putih bak fasis pro-integrasi. Apa yang mau dibanggakan lagi dari negeri kacrut ini? Hampir nihil aspek-aspek yang bisa bikin bangsa ini tegak jumawa. NKRI yang konon gemah ripah loh jinawi ini sejatinya mencret, limbung dan bersimbah darah.
Sudahlah, gunakan saja mata hati lalu akui bahwa Indonesia adalah negara (hampir) gagal. Sekarang yang kita punya tinggal rasa percaya bahwa kita bisa menjadikannya lebih baik, hampir muak tapi menolak tunduk, pula disertai niat kuat merawat demokrasi---menjunjung tinggi kebebasan berpikir, berbicara, berekspresi---dan pantang menyerah turut berperanserta mereparasi republik ini.
Ya, mencintai Indonesia, di antaranya, bisa dilakukan lewat berjuang memelihara aset berkesenian, menghargai sejarah olah senandung negeri ini.
Dirgahayu Indonesiaku!
â« Radio streaming live from 8-10 PM http://army.wavestreamer.com:6356/listen.pls â«

About
Music journalist, writer, radio DJ, socio-political activist, creative industry leader, and a qualified librarian, Rudolf Dethu is heavily under the influence of the punk rock philosophy. Often tagged as this country’s version of Malcolm McLaren—or as Rolling Stone Indonesia put it ‘the grand master of music propaganda’—a name based on his successes when managing Bali’s two favourite bands, Superman Is Dead and Navicula, both who have become two of the nation’s biggest rock bands.